Jumat, 21 Desember 2012

Sekeping Harap yang Tersisa

Perlahan waktu menutup senja..
Sepotong . . Lalu utuh. .
Pergantian waktu tiba seperti biasa.
Namun malam ini berbeda.
Ada ia. .
Bulan, diantara kita.

Bulan malam ini kamu namakan apa?
Sabit dengan lengkung dan cahayanya..?
Ya. . Itu bagimu.
Tapi bagiku,
bulan malam ini adalah bulan separuh dengan cahaya yang semu. .

Ada kerlip cahaya-cahaya kecil diatas ilalang yang sedari tadi menyaksikan kita.
Kamu namakan apa ?
Bintang kecil yang turun ke bumi tuk hiasi malam kita ?
Ahhh. . Itu bagimu. .
Tapi bagiku,,
itu percikan api dari ilalang yang sedang terbakar.

Saat aku pandangi langit, kamu pandangi bulan.
Dan ketika kamu tatap mataku dengan sayup. .
Aku tatap matamu dengan sendu.

Beri tahu aku, di waktu yang mana kita dapat bersama menunjuk satu bintang?
Kamu tersenyum ,
dan aku terdiam. .
Meretas sekeping harap yang tersisa. . .

Aku, kamu dan sahabatku

Kita duduk di ujung senja yang sama.
Kita berjalan dibawah langit yang sama.
Kita bahkan berlari di ladang yang sama.
Namun kisah kita terjarak oleh waktu yang tak pernah memertemukan kita dalam pandangan dan rasa yang sama.

Coba kamu buka kembali album hidupmu beberapa tahun yang lalu.
Bukankah ada aku disana saat kita awal jumpa dengan rasa yang kumiliki?
Coba kamu lihat album hidupku saat ini.
Bukankah masih sama ?

Kita pernah mengisi cerita dalam hari lalu..
Aku pernah berharap menjadi sandaran ketika kamu terbasuh peluh..
Pendengar ketika kamu jenuh..
Penyejuk saat kamu mulai angkuh..
Bukan !
Bukan memilikimu. .
Bukan mendampingimu. .
Itu hal yang terlalu absurd bagiku.
Aku terlalu sangat sadar,aku ini siapa..

Waktu yang telah kita lewati adalah sama.
Apa kamu tak percaya?
Boleh aku pinjam jemarimu?
Ahhh. . Jemarimu saja tak cukup untuk menghitung waktu kita. .

Kamu berjalan dari kutub utara ke kutub selatan. .
Berlayar dari samudera hindia ke samudera antartika..
Tapi aku masih disini, dalam pijakan yang sama.
Dengan harap yang tak pernah kuubah.
Dan rasanya kamu tau itu. .

Embun pagi saja mungkin telah mengering, mendengarkan cerita yang selalu sama .
Alamandapun sudah tak lagi berbunga.
Melati juga tak lagi menebar wanginya.

Aku tetap sama.
Menunggumu di suatu pagi.
Aku yakin tuhan tak pernah tidur.

Hari ini. .
Entah Desember keberapa untuk kita.
Tuhan menjawab do'a dan harapanku. .

Kamu menjelma seperti yang aku mau.
Tak ada angin, tak ada hujan. .
Kamu datang!
Apa kamu pernah bayangkan,bagaimana perasaanku saat itu?
Dan sampai pada ceritamu tentang keinginan itu, aku masih dapat tersenyum lebar.
Aku bahagia!
Tak ada sedikitpun terselip rasa sakit.
Yang aku tau saat itu, aku bahagia ketika kamu bahagia.

Tapi kenapa harus dia?
Malam kini menyadarkan aku. .
Ada sedikit perasaan yang akupun tak tau harus menamakannya apa.
Aku rela.
Aku mau.
Aku bahagia.
Tapi entahlah. . .
Aku tak ingin menamakan sedikit rasa ini "sakit" . .
Kamu. .
Yang slalu dihati, yang slalu kutunggu dan yang slalu kurindu. .
Dia. .
Yang slalu berbagi tawa canda di setiap hariku. .

Ini mungkin isyarat. .
Tuhan menghadirkanmu untukku dalam bingkisan yang berbeda. .
Harapanku ingin menjadi teman ceritamu, telah tuhan berikan. .
Meski aku miliki seribu tanya. .kenapa harus dia?

Mungkin ini cara tuhan mendekatkan aku denganmu. .
Mungkin ini jawaban tuhan, kita tak mungkin bersatu dalam hal yang pernah ku anggap absurd. .
Tuhan telah sangat baik. .
Mungkin kita bisa bersama di jalan yang ini, .
Kamu jangan pergi,lagi. .
Kamu tak perlu takut aku inginkan yang lain darimu.
Seperti ini saja, aku sangat bersyukur.
Tolong jangan berubah, lagi.
Kita mulai lagi hari dengan lembaran yang pernah aku tawarkan sebelumnya.

Aku menerimanya. .
Kamu juga kan?

Aku, kamu, dan dia . .